Umat Hindu Di Jerman Merayakan Kuningan

Umat Hindu Di Jerman Merayakan Kuningan  - Saniscara Kliwon Kuningan - Sabtu, 2 Nopember 2013 , umat Hindu dimanapun berada melangsungkan perayaan Kuningan, tidak terkecuali umat Hindu yang berada di kota Hamburg atau di negeri Jerman pada umumnya. Perayaan Kuningan saat itu terasa berbeda dari perayaan Kuningan sebelumnya yang biasa diselenggarakan oleh Nyama Braya Bali (NBB) di Jerman.  Sebelumnya, NBB tempek Hamburg bertepatan dengan Hari Raya Kuningan 22 Mei 2010 secara bersamaan juga melangsungkan karya Ngenteg Linggih Pura yang baru dibangun di Hamburg, tepatnya di depan halaman Museum für Völkerkunde (Museum Etnologie yang memamerkan hampir seluruh etnis kebudayaan dunia). Pura yang baru di pelaspas di halaman Museum ini bernama " Pura Sangga Bhuana ".



# Sejarah Singkat Pembangunan Pura

Pura yang dibangun atas inisiatif Luh Gede Juli Wirahmini Biesterfeld, wanita kelahiran Desa Banyuatis, Buleleng yang saat ini berdomisili di Hamburg. Sesungguhnya pembangunan ini sudah direncanakan sejak tahun 2004, secara bertahap dimulai dari kegiatan memamerkan benda-benda kesenian Bali didalam ruangan Museum di salah satu departementnya yang khusus memamerkan tentang kebudayaan etnis Bali. Kemudian di tahun 2006 diikuti dengan mewujudkan rumah gedong kerajaan berasitektur Bali di dalam ruangan Museum, hingga akhirnya di tahun 2008 ketika NBB Hamburg menyelenggarakan Kuningan, keinginan untuk mendirikan Pura mulailah di wujud nyatakan di awali dengan upacara mecaru " ngeruak " . Diawali dengan membuat dasar bangbang untuk bangunan Padmasana yang dipimpin oleh Ida Bhagawan Dwija. Selanjutnya di tahun 2009 Padmasana mulai dibangun oleh undagi (arsitektur Pura) I Nyoman Artana yang juga didatangkan langsung dari Bali. Atas sweca nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa di tahun 2010 tepatnya pada saat perayaan Kuningan 22 Mei 2010. Pura yang baru di bangun ini diresmikan seperti layaknya Pura di Bali, yang upacara Pemlaspasan dan Ngenteg Linggih di pimpin oleh Ida Bhagawan Dwija Nawa Sandi.

# Jalannya Upacara Pemlaspasan Pura dan Perayaan Kuningan di Hamburg

Seperti tertulis pada surat undangan yang disebarluaskan oleh Juli Wirahmini bekerja sama dengan pihak Museum Völkerkunde Hamburg, upacara pemlaspasan Pura dilaksanakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan 22 Mei 2010, tepatnya dimulai jam 10 pagi. Sebelum upacara dimulai, cuaca di Hamburg saat itu tampak mendung dan sempat terjadi gerimis hujan, tak pelak cuaca dingin saat itu membuat umat yang hadir berpenampilan pakaian adat bali hampir semua melengkapi dirinya dengan jaket yang tebal pula. Namun seiring berjalannya mata jarum jam, cuacapun berangsur membaik hingga akhirnya matahari bersinar terang.
Ketika memasuki area Pura, umat yang hadir disambut dengan suara gamelan yang dimainkan oleh group gamelan " Anggur Jaya "  pimpinan Sebastian Goethe dan Ni Wayan Goethe yang anggotanya berasal tidak hanya dari Freiburg, melainkan juga dari Basel Swiss, Muenchen, Heidelberg, dll. Dentuman kendang yang dimainkan oleh Wayan Pica serta Lantunan suara seruling yang dimainkan oleh anggota sekehe gamelan, membuat suasana di Hamburg benar-benar terasa seperti di Bali.

Setelah umat yang hadir selesai bertegur sapa dan berkangen-kangenan, tiba saatnya Ida Bhagawan Dwija yang memimpin jalannya upacara meminta kepada umat yang hadir untuk mengambil sikap duduk agar jalannya upacara bisa dimulai. Sementara Ida Bhagawan Dwija mulai melafalkan mantra, disaat itu juga penari " Topeng Jago " mulai menari dihadapan umat. Pementasan  Topeng Jago yang termasuk jenis tari bebali disaat upacara sedang berlangsung adalah bertujuan untuk mengusir Buta Kala sehingga upacara pemlaspasan bisa berjalan dengan lancar. Seperti jenis tarian topeng lainnya, tari Topeng Jago juga menggambarkan suatu hubungan interaktif antara penari dan penabuh. Keduanya saling mempengaruhi dan keduanya secara bergantian memberi sinyal tertentu yang bisa menghasilkan gerakan tari yang berbeda-beda.

Setelah penampilan Topeng Jago, kemudian diikuti dengan rentetan upacara mecaru – melaspas (memangguh, memirak, nyengker, mecaru Rsi Gana Bebek, melaspas, memakuh, ngurip, masucian). Usai penampilan Topeng Tua, kemudian diikuti dengan pementasan " Topeng Penasar " yang banyak bertutur atau membeberkan jalannya upacara yang akan berlangsung serta menjelaskan makna filosofi yang terkandung didalamnya termasuk pula tentang keberadaan dekorasi atau aksesori yang ada di sekeliling Pura seperti kober nawa sanga, kober hanoman, umbul-umbul serta bendera yang berwarna-warni tak luput dijelaskannya. Karena fungsi nya sebagai pengutara dasar cerita maka tokoh ini disebut " Penasar ". Tatwa Hindu dijabarkannya dengan gaya bahasa yang mudah di cerna oleh umat yang hadir.

Upakara yang digunakan pada upacara pemlaspasan Pura di Hamburg ini dijelaskannya juga, bila dilihat dari tingkatan upakara (utama, madya, nista) termasuk tingkatan " Madyaning Utama " karena disesuaikan dengan " Desa, Kala, Patra ". Karena terbatasnya lahan yang ada di depan museum, maka prinsip kesucian yang bersifat horizontal " Tri Mandala " :

1. Utama mandala      = jeroan,
2. Madya mandala     = jaba tengah,
3. Nista mandala        = jaba

Dimana biasa dijumpai di Pura di Bali, ditransformasi menjadi prinsip kesucian yang bersifat vertical " Tri Angga " yang pada pembangunan Padmasana dikenal dengan nama " Tri Loka ":

1. Bhur Loka     = dasar yaitu badawang nala-naga basuki-naga antaboga,
2. Bwah Loka   = badan yaitu karang boma-garuda wisnu kencana, angsa,
3. Swah Loka   = puncak padmasana yaitu berbentuk singasana yang diapit oleh dua naga taksaka .

Sehingga bangunan Padmasana terlihat saling melengkapi dengan bangunan Museum yang tinggi, demikian di wacanakan oleh Topeng penasar disaat upacara berlangsung. Perihal nama dari Pura di Hamburg ini juga dijelaskan oleh Topeng Penasar, Pura ini tidak dinamai " Pura Jagadnata " seperti layaknya Pura yang ada di Bali, melainkan dinamai " Pura Sangga Bhuana ", karena alasan secara phisik Pura Jagadnata memerlukan tambahan pelinggih lainnya seperti Piasan, Pelinggih Purusa sebagai simbol gunung agung dan pelinggih Pradana sebagai simbol gunung batur, sementara lahan yang tersedia di depan Museum ini tidaklah cukup luas, namun bila di maknai secara filosofi " Jagat = Bhuana ", Sangga = menyangga / menopang. Jadi Pura Jagat-Nata yang bermakna Pura penguasa dunia diganti dengan Pura Sangga Bhuana yang bermakna Pura Penyangga dunia yang diharapkan dapat menopang dunia / menjaga kehidupan umat yang ada di Hamburg / Jerman / Eropa.

Setelah Topeng Penasar sekian lama ber " Dharma Wacana "  dihadapan umat, Ida Bhagawan Diwija yang memimpin jalannya upacara menginstruksikan kepada umat untuk melaksanakan Pemuspaan " Ngider Bhuana "  dan secara bersamaan diminta mementaskan Tari Rejang Dewa dengan tujuan untuk " memendak " Ida Bhatara untuk turun kedunia.

Yang menarik dari penampilan tari rejang dewa yang dipentaskan oleh anak gadis yang memang benar-benar masih " virgin " sehingga kesucian dan kesakralan dari jenis tari wali ini benar-benar terjaga. Setelah ngider bhuana dan peenampilan tari rejang dewa usai, kemudian ditampilkannya tari " Topeng Sida Karya " yang bertujuan melinggihan (Ngenteg Linggih) Ida Bhatara secara niskala di Padmasana. Bersamaan dengan penampilan Topeng Sida Karya, umat ngaturang ngayah meletakkan " symbol " Ida Sang Hyang Widi tepat dipuncak Padmasana

Setelah kesemua ritual diatas selesai, akhirnya persembahyangan bersama dimulai, diawali dengan puja trisandya dan dilanjutkan dengan kramaning sembah. Selanjutnya tirtha wangsuh-pada dan bija dibagikan. Untuk mengisi waktu luang, Ida Bhagawan Dwija melaksanakan Dharma-wacana dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan kedalam bahasa jerman oleh I Gusti Aryani Kriegenburg-Wilems. Pada dharma wacana itu, Ida Bhagawan Dwija menjelaskan secara detail akan makna dari :

1. Padmasana;  yang merupakan bangunan symbol pemuja Tuhan secara umum, atau Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai : Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
2. Lebih lanjut Ida Bhagawan juga  menjelaskan Palinggih " Pengrurah " Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.

Ida Bhagawan juga mengajak seluruh umat yang hadir untuk meneladani pohon pisang, yang karena kodratnya pohon pisang ada atau bermanfaat untuk mahluk lain dan tanpa mengharapkan pamerih. Oleh karenanya bila ada upacara keagamaan di Bali, pohon pisang selalu digunakan. Disamping meneladani pohon pisang, Ida Bhagawan juga mengajak umat yang hadir untuk meneladani binatang ayam, yang semenjak bangun pagi langsung " berangkat " kerja untuk menafkahi dirinya. Kesemua dharma wacana dari Ida Bhagawan Dwija ini diterjemahkan oleh Gusti Aryani, sehingga hampir semua warga jerman yang menyaksikan jalannya upacara ini manggut-manggut menganggumi inti sari dari dharma wacana dari Bhagawan Dwija, pertanda mereka juga setuju.

Ida Bhagawan Dwija juga menjelaskan bahwa secara perlahan tapi pasti, keberadaan komunitas kita ataupun agama kita mulai dikenali serta di akui, tidak hanya oleh masyarakat Jerman tetapi juga oleh pemerintah Jerman, terbukti dengan diberikannya ijin untuk membangun Pura ini di Museum Völkerkunde Hamburg. Ida Bhagawan mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih kepada Museum Völkerkunde dan kepada Ibu Luh Gde Juli Wirahmini Biesterfeld, yang telah secara bersama-sama mewujudkan Pura Sangg Bhuana ini.

Dengan dibangunnya Padmasana / Pura di Hamburg ini, Bhagawan Dwija berharap kepada umat yang hadir di Hamburg, bisa semakin yakin akan Sang Hyang Widi Wasa, yaitu Tuhan dengan tanpa sifatnya (Nirguna Brahman) dan Tuhan dengan sifat-sifatnya (Saguna Brahman).

Dharma Wacana dari Ida Bhagawan Dwija merupakan akhir dari upacara di pagi hari, yang selanjutnya dilanjutkan dengan acara makan siang bersama. Namun sebelum umat beranjak menuju tempat dimana makanan siang di hidangkan, semua umat melakukan foto bersama.

# Sambutan dan Hiburan

Waktu ketika itu menunjukkan jam 14.30, jalannya acara dilanjutkan dengan sambutan resmi dari President Director Museum Völkerkunde Prof. Dr. Wulf Köpke, staff pameran yang bertanggung jawab sebagai departement Bali di Museum Völkerkunde Dr. Jeanette Kokkot, serta pemberian souvenir dari pihak Museum kepada Juli Wirahmini, Ida Bhagawan Dwija, undagi I Nyoman Artana, serta kepada penari yang datang dari Bali. Karena terkesan dengan Dharma Wacana dari Ida Bhagawan Dwija tentang keteladanan pohon pisang,  Prof. Dr. Wulf Köpke pun akhirnya menyerahkan tanda kenang-kenangan berupa tunas pohon pisang kepada Ida Bhagawan Dwija, yang disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari penonton yang hadir. Ida Bhagawan Dwija dalam sambutannya juga menyerahkan kenang-kenangan kepada pihak museum berupa perangkat upacara yang dibawa beliau dari bali dan dipergunakan untuk melangsungkan upacara Ngenteg Linggih di Pura Sangga Bhuana ini, diberikan seutuhnya kepada pihak Museum untuk ditempatkan didalam ruang pameran museum Völkerkunde.

Waktu terus berjalan, acara sambutan pun selesai juga, sehingga acara dilanjutkan dengan acara hiburan, seperti tari panjembrama, tari Jauk keras, tari Bondres , dan tari Joged yang mengikut sertakan penonton yang hadir.

# Penyineban

Di saat hari menjelang sore, setelah acara hiburan usai, Upacara penyineban dipimpin oleh Ida Bhagawan Dwija dilangsungkan sebagai pertanda jalannya upacara Ngenteg Linggih telah berakhir. Umat yang menghadiri persembahyangan juga dimita Ida Bhagawan Dwija untuk mengumpulkan uang logam Euro (yang merupakan bagian dari Panca Datu) untuk ditanamkan kedalam lubang tanah, bersama bebantenan lainnya yang merupakan bagian dari prosesi Mendem Pedagingan. Dimasukkannya uang logam Euro yang merupakan bagian dari Panca Datu atau 5 element dari bahan yang terbuat dari logam yang terdapat di bumi ini seperti :

1. Emas berwarna kuning yang melambangkan kebesaran dan kemasyuran,
2. Perak yang berwarna Putih yang melambangkan kemurnian,
3. Perunggu yang berwarna merah melambangkan spirit dan keutamaan dalam kehidupan,
4. Baja berwarna hitam melambangkan air,
5. Jenis berlian yang terbuat dari campuran keempat jenis logam tadi.

Kelima inti dari metal tadi berfungsi sebagai dasar dari energi listrik yang menghubungkan bangunan-bangunan suci yang ada di Pura dengan energy dari bumi. Dimasukkannya kelima element tersebut di percaya bahwa bangunan suci sudah di hubungkan oleh energy cosmic, sehingga bangunan itu akan memancarkan taksu " kekuatan dari dalam " seperti menarik kekuatan dan meningkatkan daya yang menakjubkan.

Terimakasih

Terimakasih saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa kepada Pemerintah Jerman lewat Museum Völkerkunde Hamburg yang telah mengijinkan pendirian Pura ini di Jerman dan juga terimakasih kepada Luh Gede Juli Wirahmini Biesterfeld yang telah mendanai hingga Pura ini bisa terwujudkan di Hamburg. Semoga amal bakti serta ke ikhlasannya di berkati oleh Ida Sang Widi Wasa.

Sumber : http://metrobali.com/2013/11/01/umat-hindu-rayakan-kuningan-di-jerman/?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter

0 komentar:

Copyright © 2013 PD KMHDI Jawa Barat and Blogger Templates - Anime OST.
Selamat Datang di Blog Resmi Pimpinan Daerah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Jawa Barat